Kamis, 25 November 2010

TAUJIH

http://hurul.cybermq.com/dirmember/00002/hurul/photo/mata.jpg
Seorang penyair berkata:                                                                          
Setiap kejadian berawal dari pandangan
dan api yang besar itu berasal dari                                                                                                        percikan bunga api yang dianggap kecil                                                                                                      
Berapa banyak pandangan mata itu
mencapai kehati pemiliknya
seperti busur dan tali busurnya
Selama seseorang hamba membolak-balikkan
pandangannya menatap manusia,
dia berdiri di atas bahaya
pandangan adalah kesenangan yang membinasakan,
hunjaman yang memudharatkan.”
(Ad-Da’u wad Dawa’, hal. 234).
http://hurul.cybermq.com/dirmember/00002/hurul/photo/ikhtilat%20images(1).jpg

Setiap manusia, ikhwan akhwat ataupun manusia biasa, pasti akan mengalami tiga jenis ujian dalam hidupnya. Meski kadarnya berbeda – beda bagi setiap orang. Lawan jenis, harta dunia dan status sosial. Ketiga jenis ujian inilah yang akan menjadi siklus tetap ujian bagi manusia. Sampai kapan ia akan terlepas dari ujian ini ? jawabnya adalah tatkala manusia itu telah menghembusan nafas terakhirnya.

Saat syetan sudah mulai putus asa, untuk menggoda para ikhwan atau akhwat bermaksiat secara terang – terangan. Nampaknya ujian jenis pertama inilah yang menjadi “momok” tersendiri bagi para aktivis dakwah yang masih berstatus mahasiswa. Bagaimana tidak ? interaksi yang begitu intens, pertemuan yang begitu sering, meski berlabel agenda dakwah tertentu, terkadang menjadi celah tersendiri bagi syetan untuk menggodanya dengan cara yang lain.

Belum lagi dengan kegiatan – kegiatan yang melibatkan interaksi dengan lawan jenis diluar kegatan – kegiatan berlabel dakwah. Rapat himpunan, rapat BEM, sampai pada mengerjakan tugas kelompok yang menjadi makanan sehari – hari bagi sebagaian mahasiswa pada prodi tertentu. Tentu berkikhtilat, bercampur baur, dengan lawan jenis adalah sesuatu yang tidak mungkin untuk dihindari. Meskipun untuk hal yang terakhir, pendidikan, sebagaian ulama memafhumkan hal tersebut.

Fenomena – fenomena semacam inilah yang kemudian mengharuskan ana, antum, dan semua yang mengaku sebagai pengemban risalah Allah yang teguh memegang prinsip agama untuk memahami suatu ilmu tentang fiqh ikhtilat. Pengetahuan yang mendalam tentang hukum – hokum berinteraksi dengan lawan jenis sesuai dengan ajaran dien ini. Hal ini penting untuk difahami, agar kita tidak menjadi ragu – ragu dalam berinteraksi atau bahkan salah dalam menempatkan diri dalam sebuah keadaan.

Demikian juga dengan ikhtilat, seiring perkembangan zaman, ikhtilat maupun khalwat tak lagi mengharuskan dua fisik bertemu dalam satu lokasi. Cukuplah kiranya sms – sms kita kepada lawan jenis bukan mahram yang bisa membuat hati gelisah itu termasuk dalam kategori ikhtilat. Atau telfon – telfon berlebihan, chat – chat yang tiada guna dan tujuan, pun bisa dikategorikan dalam ikhtilat gaya baru.

Kebanyakan, hasil – hasil dari ikhtilat adalah timbulnya perasaan “deg – deg ser” kepada lawan jenis tersebut. Dalam bahasa lain dapat diterjemahkan menjadi, cinta, tresno atau apalah lain sejenisnya. Bagi kalangan aktivis perasaan cinta sebelum nikah banyak disebut dengan Virus Merah Jambu. Padahal warna merah jambu adalah warna yang indah dan cerah. Menurut ana kurang tepat jika virus yang bisa merusak ini disebut dengan Virus Merah Jambu. Ana menyebutnya sebagai Virus Panah Iblis karena virus ini lebih sering muncul karena pandangan yang tidak terjaga. 
Dalam sebuah hadits qudsi:

"Pandangan mata adalah panah beracun dari antara panah-panah Iblis. Barangsiapa meninggalkannya karena takut kepada-Ku maka Aku ganti dengan keimanan yang dirasakan manis dalam hatinya." (HR. Al Hakim).

Berikut ini adalah pelanggaran-pelanggaran yang masih sering terjadi:

1. Pulang Berdua
Usai rapat acara rohis, karena pulang ke arah yang sama maka akhwat pulang bersama di mobil ikhwan. Berdua saja. Dan musik yang diputar masih lagu dari Peterpan pula ataupun lagu-lagu cinta lainnya.

2. Rapat Berhadap-Hadapan

Rapat dengan posisi berhadap-hadapan seperti ini sangatlah ‘cair’ dan rentan akan timbulnya ikhtilath. Alangkah baiknya – bila belum mampu menggunakan hijab – dibuat jarak yang cukup antara ikhwan dan akhwat.

3. Tidak Menundukkan Pandangan (Gadhul Bashar)

Bukankah ada pepatah yang mengatakan, “Dari mana datangnya cinta? Dari mata turun ke hati”. Maka jangan kita ikuti seruan yang mengatakan, “Ah, tidak perlu gadhul bashar, yang penting kan jaga hati!” Namun, tentu aplikasinya tidak harus dengan cara selalu menunduk ke tanah sampai-sampai menabrak dinding. Mungkin dapat disiasati dengan melihat ujung-ujung jilbab atau mata semu/samping.

4. Duduk/ Jalan Berduaan

Duduk berdua di taman kampus untuk berdiskusi Islam (mungkin). Namun apapun alasannya, bukankah masyarakat kampus tidak ambil pusing dengan apa yang sedang didiskusikan karena yang terlihat di mata mereka adalah aktivis berduaan, titik. Maka menutup pintu fitnah ini adalah langkah terbaik kita.

5. “Men-tek” Untuk Menikah

“Bagaimana, ukh? Tapi nikahnya tiga tahun lagi. Habis, ana takut antum diambil orang.” Sang ikhwan belum lulus kuliah sehingga ‘men-tek’ seorang akhwat untuk menikah karena takut kehilangan, padahal tak jelas juga kapan akan menikahnya. Hal ini sangatlah riskan.

6. Telpon Tidak Urgen

Menelfon dan mengobrol tak tentu arah, yang tak ada nilai urgensinya.

7. SMS Tidak Urgen

Saling berdialog via SMS mengenai hal-hal yang tak ada kaitannya dengan
da’wah, sampai-sampai pulsa habis sebelum waktunya.

8. Berbicara Mendayu-Dayu

“Deuu si akhiii, antum bisa aja deh?..” ucap sang akhwat kepada seorang ikhwan sambil tertawa kecil dan terdengar sedikit manja.

9. Bahasa Yang Akrab

Via SMS, via kertas, via fax, via email ataupun via YM. Message yang disampaikan begitu akrabnya, “Oke deh Pak fulan, nyang penting rapatnya lancar khaaan. Kalau begitchu.., ngga usah ditunda lagi yah, otre deh Senyum manis.” Meskipun sudah sering beraktivitas bersama, namun ikhwan-akhwat tetaplah bukan sepasang suami isteri yang bisa mengakrabkan diri dengan bebasnya. Walau ini hanya bahasa tulisan, namun dapat membekas di hati si penerima ataupun si pengirim sendiri.

10. Curhat

“Duh, bagaimana ya?., ane bingung nih, banyak masalah begini ? dan begitu, akh?.” Curhat berduaan akan menimbulkan kedekatan, lalu ikatan hati, kemudian dapat menimbulkan permainan hati yang bisa menganggu tribulasi da’wah. Apatah lagi bila yang dicurhatkan tidak ada sangkut pautnya dengan da’wah.

11. Yahoo Messenger/Chatting Yang Tidak Urgen


YM termasuk fasilitas. Tidaklah berdosa bila ingin menyampaikan hal-hal penting di sini. Namun menjadi bermasalah bila topik pembicaraan melebar kemana-mana dan tidak fokus pada da’wah karena khalwat virtual bisa saja terjadi.

12. Bercanda ikhwan-akhwat

“Biasa aza lagi, ukhtiii? hehehehe,” ujar seorang ikhwan sambil tertawa. Bahkan mungkin karena terlalu banyak syetan di sekeliling, sang akhwat hampir saja mencubit lengan sang ikhwan.

Pelanggaran di atas dapat dikategorikan kepada hal-hal yang mendekati zina karena jika dibiarkan, bukan tidak mungkin akan mengarah pada zina yang sesungguhnya, na’udzubillah.
Maka, bersama-sama kita saling menjaga pergaulan ikhwan-akhwat. Wahai akhwat?., jagalah para ikhwan. Dan wahai ikhwan?., jagalah para akhwat. Jagalah agar tidak terjerumus ke dalam kategori mendekati zina.

Lalu bagaimana jika ikhtilat tidak bisa dihindari lagi ? Cara yang paling umum adalah beramal dengan ikhlas, gadhul bashar, puasa, hijab fisik dan jaga hati. Namun, jika itu semua belum juga bisa menundukan pandangan dan membuat hati tenang, maka solusi ini mungkin perlu dicoba, Nikah. Nikah akan mengalihkan pikiran dari pengharapan-pengharapan yang tidak perlu. Pengharapan yang selama ini menghantui telah berwujud menjadi bidadari yang setia menanti di rumah sendiri. Kalaupun ada godaan syetan di tengah jalan, ya, tinggal pulang saja. Di rumah ada yang halal kok.

Seperti yang ana ungkapkan di awal bahwa cinta sejati yang hakiki hanya akan terwujud jika telah melewati gerbang pernikahan ini. Jika belum melewatinya, ana masih menganggapnya syubhat. Sementara syubhat dan snafsu hanya bisa dihalalkan lewat jalur pernikahan.

“Ya Rabbi?, istiqomahkanlah kami di jalan-Mu. Jangan sampai kami tergelincir ataupun terkena debu-debu yang dapat mengotori perjuangan kami di jalan-Mu, yang jika saja Engkau tak tampakkan kesalahan-kesalahan itu pada kami sekarang, niscaya kami tak menyadari kesalahan itu selamanya.

Ampunilah kami ya Allah…. Tolonglah kami membersihkannya hingga dapat bercahaya kembali cermin hati kami. Kabulkanlah ya Allah…. “
Amin....

28 Juli 2009

Filed under: Taujih Ruhiyah
Jun
23
"Kutipan"
(bersatu Kita Teguh)
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjhJxJNxoUx2IwQvGx6U3HvaIIqV4mFdo9TntdrIvWoIS1__Rmp-MQj_3iMRob7gN-cmhLfXddTgBgJm9at57sEoThIpsIXHKCiGz4lEqi-3Xc6wWOC27wi0g5cBOFIpHgaaps_bCQD5s0/s200/DSC02551.JPG
Perkembangan kelompok, jamaah dan harakah-harakah di tubuh umat Islam adalah sesuatu yang menggembirakan. Tapi awas bahaya sikap bangga diri
”Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepada kamu ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” [Ali Imran: 103]
Tak dapat dipungkiri bahwa kaum Muslimin saat ini terdistribusi dalam beberapa kelompok, jamaah, dan harakah. Di dalam suatu wilayah yang tidak terlalu luas di suatu kota, misalnya, kita dapati berbagai ragam harakah yang masing-masing memiliki pengikut setianya sendiri. Kenyataan ini seharusnya kita sikapi secara bijak dengan menerima apa adanya.
Realitas Lumrah
Kita tidak perlu risau, gelisah, atau salah tingkah menghadapi realitas tersebut, karena Islam sendiri tidak menghalangi ummatnya untuk membentuk suatu perserikatan, kumpulan, atau jamaah, karena ini merupakan sunatullah. Firman Allah:
”Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang yang mengetahui.” [Ar-Rum: 22]
Selain itu, di zaman Rasulullah sendiri sudah terjadi pengelompokan identitas, yaitu Muhajirin dan Anshar. Padahal, jumlah ummat Islam pada waktu itu masih sangat sedikit. Terhadap realitas ini Rasulullah sendiri tidak risau. Beliau justru memanfaatkannya untuk melakukan konsolidasi.
Dalam satu riwayat dikisahkan bahwa suatu ketika, selesai dari satu peperangan Rasulullah membagi-bagikan harta rampasan yang jumlahnya melimpah kepada pasukan Islam. Dengan maksud menguatkan iman orang-orang muallaf dari Makkah, beliau sengaja memberi bagian yang lebih banyak kepada mereka.
Distribusi yang dianggap tidak merata itu kemudian menjadi pergunjingan di kalangan kaum Anshar yang merasa mendapatkan bagian lebih sedikit. Mereka bahkan hampir menuduh Nabi tidak adil, karena dinilai lebih memprioritaskan kaumnya. Menanggapi isu tersebut, Rasulullah bersikap arif. Beliau berkata: ”Apakah kalian tidak rela mereka pulang membawa harta rampasan, sedang kalian pulang dengan membawa Utusan Allah?” Mendengar ucapan itu, mereka semua menangis.
Apakah setelah kejadian itu Rasulullah segera meniadakan sama sekali identitas kedua kelompok tersebut? Tidak. Kaum Muhajirin adalah aset tak ternilai. Demikian juga kaum Anshar. Berdirinya kelompok-kelompok dalam tubuh kaum Muslimin adalah realitas, bahkan eksistensinya diakui oleh Al-Quran. Firman Allah:
”Dan orang yang menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka.” [Al-Hasyr: 9]
Racun Ashabiyah
Pengelompokan di tubuh kaum Muslimin itu bermasalah jika antara yang satu dengan yang lain mulai timbul sikap bangga diri atau kelompok sekaligus merendahkan kelompok, jamaah, atau harakah lainnya (Ashabiyah). Kebanggaan kolektif ini lebih sulit penanggulangannya dibandingkan dengan kebanggaan pribadi. Akibat yang ditimbulkannya juga jauh lebih dahsyat dibandingkan dengan kebanggaan individual. Itulah sebabnya Rasulullah SAW melarang sikap-sikap tersebut dengan sabda beliau:
”Hendaklah orang-orang meninggalkan kebanggaan terhadap nenek moyang mereka yang telah menjadi batu bara di neraka Jahannam atau (jika tidak) mereka akan menjadi lebih hina di sisi Allah dari kumbang yang hidungnya mengeluarkan kotoran.” (Riwayat Abu Dawud, Turmidzi dan Ibnu Hibban. Turmidzi menghasankan hadits ini).
”Cukuplah seseorang dinilai telah berbuat kejahatan bila ia merendahkan saudaranya sesama Muslim.” [Riwayat Muslim].
Kebanggaan golongan sekaligus merendahkan golongan lain bisa berakibat fatal, yakni menimbulkan sikap ekslusif, menutup diri. Akibatnya tidak bisa mengambil pelajaran dan menerima kebenaran dari pihak lain karena terhalangi oleh sikap gengsi. Akibatnya berikutnya, jamaah seperti ini cepat atau lambat akan mengalami stagnasi, pelan-pelan mulai menunjukkan tanda-tanda kemunduran, dan akhirnya mati. Padahal jika seandainya mereka bersikap tawadhu, mereka bisa belajar dari jamaah yang lain. Kekuarangannya bisa ditutupi sedang kelebihannya semakin disempurnakan. Umur jamaah seperti ini bisa jauh lebih panjang.
Kesombongan kolegial juga berdampak pada ketiadaan kerjasama dan saling menyayangi antar jamaah, padahal musuh mereka sama. Ketika musuh sudah bersatu, justru antar jamaah Muslim saling berseteru. Jika ada satu harakah yang maju, yang lain mundur tidak membantu. Lebih parah lagi, ketika harakah tersebut mengalami kekalahan justru disoraki. Inilah penyakit kaum Muslimin yang umurnya sudah berabad-abad, yang hingga kini belum terobati. Sesekali sembuh, tapi lebih sering kambuh. Kalau sudah begitu, jangan harap musuh yang ada di depan mata seperti Israel sekarang ini sangat sulit dikalahkan.
Padahal Allah menorehkan sejarah emas bagi kelompok Muhajirin dan Anshar karena mereka saling berkasih sayang, saling membantu, dan bekerjasama. Mereka hidup bersama dan berperang menghadapi musuh secara bersama. Ketika menghadapi kesulitan mereka solid, ketika lapang mereka saling berbagi. Terus terang, kita merindukan kembalinya jamaah-jamaah seperti itu.
Saling Menguatkan, Bukan Melemahkan
Kita tidak keberatan jika di negeri ini ada sepuluh partai Islam, seratus harakah Islam atau seribu ormas Islam sekalipun, asal di antara mereka terjadi silaturahim, sinergi, dan kolaborasi. Akan tetapi jika di antara mereka saling membanggakan diri, dua partai Islam saja sudah menyesakkan hati, tiga harakah saja sudah menyusahkan, dan lima ormas Islam saja sudah meresahkan. Kelompok, golongan, jamaah atau harakah seperti itu tidak menguatkan, malah menjadi sumber kelemahan dan kekalahan. Allah telah mengingatkan:
”Dan taatilah Allah dan Rasul-Nya serta janganlah kamu berbantah-bantahan yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya allah beserta orang-orang yang sabar.” [Al-Anfal: 45-46]
Sangat disayangkan, banyak di antara anggota jamaah yang kerjanya hanya mencari-cari kelemahan dan kekurangan jamaah yang lain, kemudian menyebarluaskannya. Budaya seperti ini sungguh sangat memprihatinkan kita. Apalagi jika sikap seperti itu kemudian dibenarkan oleh para elit jamaah, maka akan semakin lengkaplah penderitaan kaum Muslimin.
Lebih parah lagi, jika di antara mereka terjadi saling mengkafirkan. Tuduhan sebagai ahli bid’ah, ahli syirik, dan kelompok munafik menjadikan kelompok-kelompok dalam Islam bukan saja lemah posisinya, tapi menghancurkan diri mereka sendiri. Sehingga untuk mengalahkan kaum Muslimin, kaum kafir tidak perlu dengan berperang lagi, karena di antara kita sendiri sudah saling membunuh. Itulah sebabnya mengapa Rasulullah SAW dengan tegas bersabda:
”Apabila berhadapan dua orang Muslim dengan pedangnya masing-masing, maka baik yang membunuh maupun yang terbunuh masuk neraka.” Seorang Sahabat bertanya: ”Wahai Rasulullah, itu layak bagi yang membunuh, tetapi bagaimana dengan yang terbunuh?” Beliau menjawab: ”Sesungguhnya dia (yang terbunuh) juga berkehendak membunuh Sahabatnya itu.” [Riwayat Muslim]
Biang Ashabiyah
Biang keladi dari penyakit kronis ashabiyah yang diderita jamaah-jamaah adalah sikap hasud, iri, atau dengki. Di antara jamaah -jamaah Islam ada yang merasa sedih jika jamaah lain mempunyai kelebihan sebagai anugerah dari Allah, sementara mereka merasa gembira manakala jamaah itu mendapat kesusahan atau ujian. Perasaan seperti itu kadang disembunyikan, tapi tak jarang pula dinampakkan. Sungguh ironis, bukankah tujuan kita berjamaah justru untuk saling menguatkan, tapi mengapa kita melemahkan jamaah kita dengan berhasud ria terhadap jamaah lain? Bukankah Allah telah berfirman:
”Apakah mereka dengki kepada manusia atas anugerah Allah yang diberikan kepadanya?” [QS. An-Nisaa: 54]
Sangat disayangkan, kita yang sudah ditarbiyah dan tercerahkan, malah menjadi pendengki. Renungkanlah sabda Nabi berikut ini: ”Takutlah kamu sekalian pada sifat dengki, karena dengki itu akan memakan amalan-amalan yang baik sebagaimana api memakan kayu bakar. Atau beliau bersabda: (memakan) rumput kering.” (Riwayat Bukhari dan Muslim). Wallahu a’lam bishshawab.
[Hami Thohari. Tulisan ini pernah dimuat Majalah Hidayatullah, edisi 5, September 2006]

23 Juni 2009

Filed under: Taujih Ruhiyah
Mei
29
http://hurul.cybermq.com/dirmember/00002/hurul/photo/image/6%20(WinCE).jpg
Agar kehidupan tetap berada didalam bingkai keimanan dan tetap istiqomah pada ketaatan. Tetapkan kesadaran untuk melakukan beberapa hal, yang terangkum dalam rumus 5 M. yaitu : Muhasabah, Muroqobah, Mu’ahadah, Muaqobah dan Mujahadah.

a.Muhasabah (Intropeksi diri)
Manusia adalah makhluk yang sangat memerlukan evaluasi diri dan penilaian ulang. Kehidupannya, baik yang bersifat individual maupun sosial, sangat perlu diperhatikan. Itu tak lain karena sisi spiritual dan intelektual selalu berubah-ubah. Cepat terwarnai dengan keadaan yang menyertainya. Hari ini baik, besok bisa sangat baik. Atau hari in sangat baik, besok mungkin saja sangat tidak baik. 

Disinilah perlunya kita intropeksi diri (muhasabah), agar kebaikan tetap bisa kita pertahankan. Sebab kita tak pernah tahu kapan kita akan dimatikan. Hidup dan mati kita Allahlah yang mengatur, yang kita tahu adalah bahwa setiap kita pasti mati.
 

Seorang muslim harusnya sangat menyadari, bahwa apapun yang dilakukannya kelak akan dipertanggung jawabkan dihadapan Allah. Dan menyadari pula bahwa setiap hembusan nafasnya adalah mutiara yang sangat bernilai. Maka ia tidak menyia-nyiakan walau sesaatpun.
 

Ketahuilah sahabat,
 Kepentingan menghisab diri ini kita dilakukan untuk mengetahui dua hal, yaitu; 

Pertama: untuk mengetahui segala aib diri, apakah kebaikannya lebih banyak dari pada keburukan kita, ataukah sebaliknya.
Kedua: untuk mengetahui hak Allah terhadap kita. Apakah kewajiban kita sebagai hamba Allah sudah disempurnakan ataukah dilalaikan. Dari dua kesadaran ini akan lahir kepribadian yang istiqomah dan sikap mental yang tidak mudah melemah.

Terkait dengan muhasabah,
 Hasan al-Basyri pernah berkata: “Seorang mukmin itu pemimpin bagi dirinya sendiri. Ia menghisab dirinya karena Allah. Karena sesungguhnya hisab pada hari kiamat nanti akan ringan bagi mereka yang telah menghisab dirinya di dunia. 

Hal senada juga pernah di ungkapan oleh
 Umar bin Khaththab; “Hisablah dirimu sebelum dihisab, timbanglah diri kalian sebelum ditimbang. Sesungguhnya berintropeksi bagi kalian pada hari ini lebih ringan dari pada hisab di kemudian hari” (Di riwayatkan dari Iman Ahmad dan At-Tarmidzi secara mauquq dari Umar bin Khaththab)


b.Muroqobah ( Selalu Merasa diawasi Allah)

Orang yang sadar bahwa Allah selalu mengawasi hidupnya, maka ia akan terbentengi dari kesalahan dan dosa. Rasa khauf (takut) selalu menyelimutinya bila ia melakukan kesalahan. Khauf (rasa takut) akan membakar syahwat yang diharamkan Allah, sehingga kemaksiatan yang dulu disukai jadi dibenci. 

Kesombongan yang dulu dipertahankan berubah menjadi ketawadhuan, Ia selalu waspada terhadap langkah, pikiran dan kalimat yang keluar dari dirinya. Ia menyadari betul tentang firman Allah di bawah ini:
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dengan urat lehernya, yaitu ketika dua malaikat mencatat amal perbuatannya, satu duduk disebelah kanan dan yang lain duduk disebelah kiri. Tiada satu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir”.(Qs Qaf [50]:16-18)

Sahabat, Hamba yang selalu bermuroqobah adalah orang yang memiliki kecerdasan ruhiyah yang tinggi. Kesadaran itu dibangun berdasarkan pemikiran yang cerdas, karena ia sangat menyadari bahwa hidup akan mempunyai makna apabila ruang tempat berpijak adalah amanah yang harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk dirinya dan kemudian dia pertanggung jawabkan kelak dihadapan Allah.
 

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadanya, sedang kamu mengetahui…
(Qs. Al-Anfal [8 ]:27)

Ketahuilah sahabat, Islam memandang amanat sebagai suatu yang amat berharga, sekecil apapun amanah yang kita terima, wajib kita jaga dengan baik dan kita sampaikan kealamatnya secara konsisten. Karena dengan memandang kecil sebuah amanat yang kecil, kita akan terbiasa memandang amanat itu sebagai hal yang tidak berarti. Sehinga amanat yang besarpun akan kita anggap sebagai amanat yang sepele.
 

c.Mu’ahadah (selalu mengingat perjanjian dengan Allah SWT)

Kesadaran kita bahwa hidup bukan sekedar ada tetapi karena ada yang mengadakannya, adalah sikap dan sifat seorang muslim sejati. Allah menghidupkan kita dengan fasilitas yang diberikan-Nya bukanlah tanpa tujuan. Dan tujuan kita diciptakan adalah untuk beribadah hanya kepada-Nya.

Dan hanya Allah sajalah yang harus kita pertuhankan, karena inilah inti kehidupan; yaitu mempertuhankan Allah dan tidak boleh menyekutukan- Nya dengan sesuatupun. Inilah perjanjian yang harus selalu kita ingat, sebagaimana di ungkapan oleh Allah:
“Dan ingatlah ketika Rabb mu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka, dan Allah mengambil kesaksian terhadap mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?, mereka menjawab. “Betul (engkau Tuhan kami) kami menjadi saksi. (Kami lakukan yang demikian itu agar dihari kiamat kamu tidak mengatakan; “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (kesesaan Tuhan)”.(Qs. Al-A’raf [7]:172).

Manusia dengan segala keberhasilan dunia yang diraihnya tidaklah kemudian menjadi mulia, manakala ia merasa bahwa apapun yang diraihnya adalah hasil usahanya sendiri, tanpa ada campur tangan orang lain.
 

Sadarilah, kita bisa disebut kaya karena ada yang miskin. Kita disebut cantik karena ada yang jelek. Dan kita juga bisa disebut baik (mulia), karena ada yang buruk. Kemudian ketahuilah, tidaklah orang lain memuliakan kita, kecuali karena Allah yang menghendaki.
 

Makanya jangan merasa diri lebih mulia dari orang lain, karena itu adalah kebodohan. Sebab hanya orang bodohlah yang merasa dirinya tidak perlu membutuhkan bantuan. Dan ketika rasa itu mendominasi dirinya, maka kecenderungan menyekutukan Allah nampak semakin sempurna.
 

Maka kesadaran; bahwa Allah sebagai Tuhan dan hanya kepada Allah segalanya dikembalikan adalah buah dari kecerdasan pikiran yang lahir dari keimanan.
 
Ingatlah selalu akan perjanjian kita dengan Allah yaitu untuk selalu beribadah hanya kepada-Nya. Jangan berpaling dari syariat-Nya dan tidak mendustai kebenaran yang turunkannya (al-Qur’an).


d. Mu’aqobah ( Memberi sangsi ketika lalai beribadah) 

Memberikan sanksi (‘iqob ) ketika kita lalai beribadah memang sesuatu yang tidak mudah. Dibutuhkan kesadaran diri yang prima dan keimanan yang sempurna. Hanya orang-orang yang mendapat rohmat dari Allah sajalah yang dapat melakukannya. 

Seringnya kita membiarkan kelalailan akan menghadirkan sikap meremehkan kesalahan. Dan lambat laun, ketika kesalahan sudah menjadi kebiasaan, maka dorongan melaksanakan ketaatan akan semakin hilang. Bahkan membiarkan diri dalam kesalahan akan mempermudah kesalahan-kesalahan yang lain.
 

Disinilah pentingnya kita meng’iqob (memberikan sangsi) kepada diri agar jiwa terselamatkan dari dosa. Sanksi yang dimaksud disini adalah; apabila kita menemukan kesalahan maka tidak pantas bagi kita untuk membiarkannya.
 

Bentuk pemberian sanksi tentu saja harus yang mubah dan tidak boleh berlebihan, apalagi sampai membahayakan diri. Seperti memukul kepala karena tidak sholat subuh. Atau membakar diri karena asyiknya nonton TV hingga lupa sholat Isya. Tentu saja tidak seperti itu.
 
Sebuah perilaku yang dapat kita jadikan contoh adalah; seperti kebiasaan pada generasi sahabat atau para salaf yang meng ‘iqob diri secara langsung ketika mereka melakukan kekhilafan, misalanya: dalam sebuah riwayat dikisahkan bahwa Umar bin Khaththab pergi kebunnya. Ketika pulang didapatinya orang-orang sudah selesai melaksanakan sholat Ashar. Maka beliau berkata: “Aku pergi hanya untuk sebuah kebun, aku pulang orang-orang sholat Ashar!..kini kebunku aku jadikan shodaqoh untuk orang-orang miskin.
 

Subhanallah. Bagaimana dengan kita, bisakah kita mencontoh Umar, sudah berapa seringkah kita melalaikan kewajiban. Tetapi adakah kita pernah meng’iqob diri karena banyaknya kekhilafan itu ?.
 

e. Mujahadah (adanya kesungguhan dalam ibadah)

Ibadah adalah alasan Allah menciptakan manusia. Karena untuk itulah kita hidup dan di hidupkan. Kita hidup bukanlah sedekar hidup, tetapi harus mentaati aturan yang maha hidup, Dialah Allah. Bahkan ibadah adalah inti hidup, orang yang tidak punya orientasi ibadah dalam hidup seperti orang yang melakukan perjalanan tanpa tujuann, hampa. 

Bermujahadah artinya bersungguh-sungguh dalam melaksanatan ketaatan dalam rangka menjemput keridhoan Allah. Hingga akhirnya ketaatan merupakan kebiasaan, bukan sebuah beban yang memberatkan.
 

Sa’id Musfar Al-Qahthani mengatakan; Mujahadah berarti mencurahkan segenap usaha dan kemampuan dalam mempergunakan potensi diri untuk taat kepada Allah dan apa-apa yang bermanfaat bagi diri saat sekarang dan nanti, dan mencegah apa-apa yang membahayakannya.

“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhoan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik”. (Qs. Al-Ankabut:69)



Sahabat, Bangkitnya seseorang dari kelemahan kepada semangat, dari kemaksiatan kepada taat, dari kebodohan kepada ilmu, dan dari keraguan kepada yakin; adalah ciri dari orang-orang yang bermujahadah. Selalu ingin mengoptimalkan nilai-nilai kebenaran dalam setiap gerak kehidupan.


Dengan melakukan rumus 5 M di atas, Insya Allah nilai kehidupan yang kita jalani akan semakin berarti. Sebab dengan Muhasabah kita selalu memperbaiki segala yang salah. Dengan Muroqobah kita selalu merasa keagungan Allah. Dengan Mu’ahadah kita tetap akan istiqomah. Dengan Mu’aqobah kita dapat mengurangi beban dari rasa bersalah dan dengan Mujahadah kehidupan kita akan selalu dipermudah. Insya Allah. 

Dan buah pelaksanaan 5 M ini adalah 5 C . yaitu: Comitment, Confident, consisten, consquent dan creative.
a.
Comitment adalah keyakinan kokoh yang menggerakan prilaku menuju arah yang di yakini (I’tikad)
b.
Consistence adalah kemampuan untuk bersikap secara taat azaz, pantang menyerah dan mampu mempertahankan prinsif kebenaran yang diyakininya betapapun harus membahayakan dirinya.
c.
Consequence, adalah keberanian menerima konsekwensi dari keputusan yang di ambilnya. Baginya hidup adalah pilihan (life is choice) yang harus di pertanggung jawabkan.
d.
Confidence adalah sikap percaya diri yang lahir dari kekuatan keyakinan dan sifat ini merupakan kematangan berpikir dari jiwa yang istiqomah
e.
Creative, adalah sikap yang tak pernah lelah melalukan kebaikan, selalu saja ada aktivitas yang membuat dirinya semakin maju selangkah demi selangkah namun pasti. Dan kreatiptas ini menjadikan seorang mukmin selalu menangkap sinyal kebaikan dalam setiap efisode hidup yang di jalaninya. 


Bangkitnya seseorang
dari kelemahan kepada semangat,
dari kemaksiatan kepada taat,
dari kebodohan kepada ilmu,
dan dari keraguan kepada yakin,
adalah ciri dari orang-orang
yang bermujahadah( sungguh-sungguh)

Selalu ingin mengoptimalkan
nilai-nilai kebenaran
dalam setiap gerak kehidupan.



29 Mei 2009

Filed under: Taujih Ruhiyah
Mei
25
Bagaimana Seharusnya Kita Bersikap...???

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Pernahkah anda merasakan kegelisahan Sahabat Rasulullah Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam yang Mulia Ali Bin Abi Thalib, ketika mendengar Fathima Az-Zahra akan dilamar oleh Abu Bakr...

Lalu bisakah dibayangkan bagaiman keresahan itu melanda ketika ’Umar ibn Al Khaththab pun ingin melaksanakan niat yang sama....???


Merasa diri kurang baik dan kurang pantas untuk Fathimah Az-Zahra dibandingkan dua sahabat lainnya sempat menggetarkan batin Sang Pemuda Pemberani, yang selalu berada di garda terdepan membela Agama Allah...
Namun dia adalah pecinta sejati yang mampu meletakkan segalanya pada waktu dan tempat yang sesuai... Subhanallah, cintanya pun akhirnya disambut dengan hangat lewat ucapan
"Ahlan Wa Sahlan" 
Oleh sosok teragung sepanjang masa.. Sang Nabi Penyeru Kepada Jalan yang Benar.. Nabi Muhammad Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam..

Lalu, Pernahkah anda Membaca kisah ditolaknya lamaran Salman Al-Farisi oleh seorang wanita Anshar yang Sholihah...???
Ketika dia telah memutuskan untuk menjadikannya sebagai kekasih.. bukan sekedar kekasih tapi juga pilihan hidup yang didasarkan pada pilihan akal sehat serta perasaan yang halus pada jiwa yang suci....
dan Subhanallah... lelaki yang dipilih oleh Mukminah tersebut adalah Abu darda.. seorang Anshar yang dipersaudarakan dengannya.. dan dialah yang mengantarkan Salman Al-Farisi melamar wanita tersebut.

Lalu apa reaksi Salman Al-Farisi ketika mengetahui lamarannya ditolak dan wanita tersebut lebih memilih saudaranya...
”Allahu Akbar!”, seru Salman, ”Semua mahar dan nafkah yang kupersiapkan ini akan aku serahkan pada Abud Darda’, dan aku akan menjadi saksi pernikahan kalian!”

Subhanallah................!!! Jawaban yang begitu Indah....
Inilah Kedewasaan cinta yang dimiliki para pejuang di Jalan dakwah... mereka mempertemukan CINTA dan SEMUA PERASAAN dengan TANGGUNGJAWAB. dan Cinta yang terjadi TIDAK PERNAH MENANTI.. Seperti ’Ali ia MEMPERSILAHKAN atau MENGAMBIL KESEMPATAN. yang pertama adalah PENGORBANAN yang kedua adalah KEBERANIAN. dan bagi pecinta sejati.... SELALU ADA YANG MANIS DALAM MENGECAP KEDUANYA..
Dan lewat kisah inilah... kita HARUS BELAJAR..
bagaiman MEMPERTANGGUNGJAWABKAN PERASAAN KITA...

25 Mei 2009

Filed under: Taujih Ruhiyah
Mei
05

(alm) Ust. Rahmat Abdullah

Kematian Hati

Banyak orang tertawa tanpa (mau) menyadari sang maut sedang mengintainya.

Banyak orang cepat datang ke shaf shalat layaknya orang yang amat merindukan kekasih. Sayang ternyata ia datang tergesa-gesa hanya agar dapat segera pergi.

Seperti penagih hutang yang kejam ia perlakukan Tuhannya. Ada yang datang sekedar memenuhi tugas rutin mesin agama. Dingin, kering dan hampa, tanpa penghayatan. Hilang tak dicari, ada tak disyukuri.

Dari jahil engkau disuruh berilmu dan tak ada idzin untuk berhenti hanya pada ilmu. Engkau dituntut beramal dengan ilmu yang ALLAH berikan. Tanpa itu alangkah besar kemurkaan ALLAH atasmu.

Tersanjungkah engkau yang pandai bercakap tentang keheningan senyap ditingkah rintih istighfar, kecupak air wudlu di dingin malam, lapar perut karena shiam atau kedalaman munajat dalam rakaat-rakaat panjang.

Tersanjungkah engkau dengan licin lidahmu bertutur, sementara dalam hatimu tak ada apa-apa. Kau kunyah mitos pemberian masyarakat dan sangka baik orang-orang berhati jernih, bahwa engkau adalah seorang saleh, alim, abid lagi mujahid, lalu puas meyakini itu tanpa rasa ngeri.

Asshiddiq Abu Bakar Ra. selalu gemetar saat dipuji orang. "Ya ALLAH, jadikan diriku lebih baik daripada sangkaan mereka, janganlah Engkau hukum aku karena ucapan mereka dan ampunilah daku lantaran ketidaktahuan mereka", ucapnya lirih.

Ada orang bekerja keras dengan mengorbankan begitu banyak harta dan dana, lalu ia lupakan semua itu dan tak pernah mengenangnya lagi. Ada orang beramal besar dan selalu mengingat-ingatnya, bahkan sebagian menyebut-nyebutnya. Ada orang beramal sedikit dan mengklaim amalnya sangat banyak. Dan ada orang yang sama sekali tak pernah beramal, lalu merasa banyak amal dan menyalahkan orang yang beramal, karena kekurangan atau ketidaksesuaian amal mereka dengan lamunan pribadinya, atau tidak mau kalah dan tertinggal di belakang para pejuang. Mereka telah menukar kerja dengan kata.
Dimana kau letakkan dirimu?
Saat kecil, engkau begitu takut gelap, suara dan segala yang asing. Begitu kerap engkau bergetar dan takut.

Sesudah pengalaman dan ilmu makin bertambah, engkaupun berani tampil di depan seorang kaisar tanpa rasa gentar. Semua sudah jadi biasa, tanpa rasa.
Telah berapa hari engkau hidup dalam lumpur yang membunuh hatimu sehingga getarannya tak terasa lagi saat masiat menggodamu dan engkau menimatinya?

Malam-malam berharga berlalu tanpa satu rakaatpun kau kerjakan. Usia berkurang banyak tanpa jenjang kedewasaan ruhani meninggi. Rasa malu kepada ALLAH, dimana kau kubur dia ?

Di luar sana rasa malu tak punya harga. Mereka jual diri secara terbuka lewat layar kaca, sampul majalah atau bahkan melalui penawaran langsung. Ini potret negerimu : 228.000 remaja mengidap putau. Dari 1500 responden usia SMP & SMU, 25 % mengaku telah berzina dan hampir separohnya setuju remaja berhubungan seks di luar nikah asal jangan dengan perkosaan. Mungkin engkau mulai berfikir "Jamaklah, bila aku main mata dengan aktifis perempuan bila engkau laki-laki atau sebaliknya di celah-celah rapat atau berdialog dalam jarak sangat dekat atau bertelepon dengan menambah waktu yang tak kauperlukan sekedar melepas kejenuhan dengan canda jarak jauh" Betapa jamaknya dosa kecil itu dalam hatimu.

Kemana getarannya yang gelisah dan terluka dulu, saat "TV Thaghut" menyiarkan segala "kesombongan jahiliyah dan maksiat"?

Saat engkau muntah melihat laki-laki (banci) berpakaian perempuan, karena kau sangat mendukung ustadzmu yang mengatakan " Jika ALLAH melaknat laki-laki berbusana perempuan dan perempuan berpakaian laki-laki, apa tertawa riang menonton akting mereka tidak dilaknat ?"
Ataukah taqwa berlaku saat berkumpul bersama, lalu yang berteriak paling lantang "Ini tidak islami" berarti ia paling islami, sesudah itu urusan tinggallah antara engkau dengan dirimu, tak ada ALLAH disana?
Sekarang kau telah jadi kader hebat.
Tidak lagi malu-malu tampil.

Justeru engkau akan dihadang tantangan: sangat malu untuk menahan tanganmu dari jabatan tangan lembut lawan jenismu yang muda dan segar. Hati yang berbunga-bunga didepan ribuan massa.

Semua gerak harus ditakar dan jadilah pertimbanganmu tergadai pada kesukaan atau kebencian orang, walaupun harus mengorbankan nilai terbaik yang kau miliki. Lupakah engkau, jika bidikanmu ke sasaran tembak meleset 1 milimeter, maka pada jarak 300 meter dia tidak melenceng 1 milimeter lagi ? Begitu jauhnya inhiraf di kalangan awam, sedikit banyak karena para elitenya telah salah melangkah lebih dulu.

Siapa yang mau menghormati ummat yang "kiayi"nya membayar beberapa ratus ribu kepada seorang perempuan yang beberapa menit sebelumnya ia setubuhi di sebuah kamar hotel berbintang, lalu dengan enteng mengatakan "Itu maharku, ALLAH waliku dan malaikat itu saksiku" dan sesudah itu segalanya selesai, berlalu tanpa rasa bersalah?

Siapa yang akan memandang ummat yang dainya berpose lekat dengan seorang perempuan muda artis penyanyi lalu mengatakan "Ini anakku, karena kedudukan guru dalam Islam adalah ayah, bahkan lebih dekat daripada ayah kandung dan ayah mertua" Akankah engkau juga menambah barisan kebingungan ummat lalu mendaftar diri sebagai alimullisan (alim di lidah)? Apa kau fikir sesudah semua kedangkalan ini kau masih aman dari kemungkinan jatuh ke lembah yang sama?

Apa beda seorang remaja yang menzinai teman sekolahnya dengan seorang alim yang merayu rekan perempuan dalam aktifitas dawahnya? Akankah kau andalkan penghormatan masyarakat awam karena statusmu lalu kau serang maksiat mereka yang semakin tersudut oleh retorikamu yang menyihir ? Bila demikian, koruptor macam apa engkau ini? Pernah kau lihat sepasang mami dan papi dengan anak remaja mereka.
Tengoklah langkah mereka di mal. Betapa besar sumbangan mereka kepada modernisasi dengan banyak-banyak mengkonsumsi produk junk food, semata-mata karena nuansa "westernnya" . Engkau akan menjadi faqih pendebat yang tangguh saat engkau tenggak minuman halal itu, dengan perasaan "lihatlah, betapa Amerikanya aku".
Memang, soalnya bukan Amerika atau bukan Amerika, melainkan apakah engkau punya harga diri.
Mahatma Ghandi memimpin perjuangan dengan memakai tenunan bangsa sendiri atau terompah lokal yang tak bermerk. Namun setiap ia menoleh ke kanan, maka 300 juta rakyat India menoleh ke kanan. Bila ia tidur di rel kereta api, maka 300 juta rakyat India akan ikut tidur disana.

Kini datang "pemimpin" ummat, ingin mengatrol harga diri dan gengsi ummat dengan pameran mobil, rumah mewah, "toko emas berjalan" dan segudang asesori. Saat fatwa digenderangkan, telinga ummat telah tuli oleh dentam berita tentang hiruk pikuk pesta dunia yang engkau ikut mabuk disana. "Engkau adalah penyanyi bayaranku dengan uang yang kukumpulkan susah payah. Bila aku bosan aku bisa panggil penyanyi lain yang kicaunya lebih memenuhi seleraku"



05 Mei 2009

Filed under: Taujih Ruhiyah
Apr
13
Benarkah engkau seorang pejuang? Mengaku diri sebagai
pejuang, sebagai jundullah, sebagai aktivis, namun akhlak maupun tsaqafahnya
tidak mencerminkan hal itu. Mengaku diri sebagai mujahid, namun niat ternoda
oleh selain-Nya. Inilah yang Allah Subhanahu wa Ta
ala sindir di dalam Al
Qur
an, "Apakah kamu mengira kamu akan dibiarkan saja mengatakan kami
beriman
sedang mereka tidak di uji lagi?" (QS. Al Ankaabut: 2-3)

Sang Pejuang Sejati

Masing-masing kita sebaiknya mengevaluasi diri, apakah kita memang sudah
benar-benar menjadi pejuang di jalan-Nya atau jangan-jangan, baru sebatas
khayalan dan angan-angan kosong belaka. Inginkan syurga, tetapi tidak siap
menggadaikan diri, harta dan jiwa. "Apakah kamu mengira bahwa kamu akan
masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di
antaramu, dan belum nyata orang-orang yang sabar." (QS. 3:142). Ya, kita
mengira akan masuk surga dengan pegorbanan yang sedikit, seakan ingin
menyamakan diri dengan hukum ekonomi kapitalis, "Mendapatkan output yang
sebesar-besarnya, semaksimal mungkin, dengan input yang seminimal mungkin."
 

Aduhai., sesungguhnya hari akhir itu adalah perkara yang besar. Dan surga
yang luasnya seluas langit dan bumi itu, sangat mahal harganya. Rasulullah
SAW bersabda, "Generasi awal sukses karena zuhud dan teguhnya keyakinan,
sedang ummat terakhir hancur karena kikir dan banyak berangan muluk kepada
Allah."

Saat nasyid-nasyid perjuangan dilantunkan, gemuruh di dalam dada menjadi
berkobar-kobar untuk berjuang. Tetapi sayang, ternyata hanya tersimpan di
dalam dada dan semangat itu ikut surut seiring dengan berakhirnya lantunan
nasyid. Tidak keluar dalam amaliyah yang nyata. Demi Allah., keimanan
bukanlah dilihat dari yang paling keras teriakan takbirnya, bukan pula dari
yang paling deras air matanya kala muhasabah, dan bukan pula dari yang
paling ekspresif menunjukkan kemarahan kala melihat Israel menyerang
Palestina. Bukan pula dari yang paling banyak simbol-simbol keagamaannya.
Karena itu semua hanya sesaat. Sesungguhnya keistiqomahan dalam berjuang,
itulah indikasi keimanan sang pejuang yang sebenarnya. Pejuang yang sabar
menapaki hari-hari dengan mengibarkan panji Illahi Rabbi. Yang selalu
bermujahadah mengamalkan Al Qur
an. Teguh pendirian. Tak kenal henti. Hingga
terminal akhir, surga.
 

Pengorbanan

Apakah dengan memakai sedikit waktu untuk berda
wah, sudah menganggap diri
telah melakukan totalitas perjuangan? Padahal para nabi tidaklah menjadikan
da
wah ini hanya sekedarnya saja, tetapi sebagaimana dicantumkan dalam Surat
Nuh ayat 5, "....Wahai Tuhanku, sesungguhnya aku telah menyeru kaumku siang
dan malam." Pun dalam surat Al Muzzamil, "Hai orang yang berkemul, bangunlah
lalu berilah peringatan, dan Rabbmu agungkanlah." Sejak ayat itu turun, sang
nabi akhir zaman selalu siaga dalam kehidupan. Bahkan, hingga menjelang
ajalnya, Rasulullah tengah menyiapkan peperangan untuk menegakkan Al Haq.

Sang pejuang, tetapi makanannya adalah sebaik-baik makanan, dan pakaiannya
adalah sebaik-baik pakaian. Dan dengan tanpa rasa berdosa, asyik menonton
sinetron-sinetron cinta dan acara gosip, mendengar lagu-lagu cinta,
berghibah, perut kenyang, banyak tidur, dan mengabaikan waktu, lalu berharap
mendapatkan syurga? Sangatlah jauh. bagaikan punduk merindukan rembulan.
Alangkah berbedanya dengan yang dicontohkan Rasulullah saw, Abu Bakar, Umar,
Mush
ab bin Umair dan para sahabat yang lainnya. Yang setelah mendapatkan
hidayah, mereka justru menjauhi kemewahan hidup. Mereka mampu secara
ekonomi, tetapi mereka tidak rela menikmati dunia yang melalaikan.
 

Seorang pejuang harus memahami jalan mendaki yang akan dilaluinya. Sang Nabi
tak pernah tertawa keras apatah lagi terbahak-bahak. Dan hal itu dikarenakan
keimanan yang tinggi akan adanya hari akhir, akan adanya surga dan neraka.
Ada amanah da
wah yang besar di pundaknya, lantas bagaimana mungkin seorang
pejuang akan banyak bercanda? Imam Syahid Hasan Al Banna memasukkan
"keseriusan" atau tidak banyak bergurau sebagai bagian dari 10 wasiatnya.
Dan dikisahkan pula bahwa Sholahuddin Al Ayyubi tak pernah tertawa karena
Palestina belum terbebaskan.
 

Keringnya suasana ruhiyah di lingkungan kita, bisa jadi karena di antara
kita -saat di luar halaqah- jarang saling bertaushiyah tentang hari akhir.
Bahkan sungguh aneh, dapat tertawa dan tidak menyimak ketika Al Qur
an
dibacakan di dalam pembukaan ta
lim. Atau saat kaset murottal diputar,
mengobrol tak mengindahkan. Yang mengindikasikan bahwa Al Qur
an itu baru
sampai di tenggorokan saja. "Akan tiba suatu masa dalam ummat ketika orang
membaca Al Qur
an, namun hanya sebatas tenggorokannya saja (tidak masuk ke
dalam hatinya)." (HR. Muslim). Dimanakah air mata keimanan? Ya Rabbi.,
ampunilah kelemahan kami dalam menggusung panji-Mu.

Kederisasi generasi sebaiknya tidak melulu tentang pergerakan dan
mengabaikan aspek keimanan. Keimanan harus senantiasa dihembuskan dimana
saja karena ia adalah motor penggerak yang hakiki. Iman adalah akar.
 

20 Muwashofat Sang Pejuang 

Setidaknya, ada 20 kriteria yang harus dimiliki pejuang, yang disarikan dari
Al Qur
an dan hadits, yaitu :
1. Aqidahnya bersih (saliimul
aqiidah)
2. Akhlaknya solid (Matiinul khuluqi)
3. Ibadahnya benar (Shohiihul I
baadah)
4. Tubuhnya sehat dan kuat (Qowiyyul jismi)
5. Pikirannya intelek (Mutsaqqoful fikri)
6. Jiwanya bersungguh-sungguh (Mujaahadatun      nafsi)
7. Mampu berusaha mencari nafkah (Qaadiirun
alal kasbi)
8. Efisien dalam memanfaatkan waktu (Hariisun
alal waqti)
9. Bermanfaat bagi orang lain (Naafi
un lighoirihi)
10. Selalu menghindari perkara yang samar-samar (Ba
iidun anisy syubuhat)
11. Senantiasa menjaga dan memelihara lisan (Hifdzul lisaan)
12. Selalu istiqomah dalam kebenaran (istiqoomatun filhaqqi)
13. Senantiasa menundukkan pandangan dan memelihara kehormatan (Gaddhul
       bashor wahifdul hurumat)
14. Lemah lembut dan suka memaafkan (Latiifun wahubbul
afwi)
15. Benar, jujur dan tegas (Al Haq, Al-amanah-wasyja
ah)
16. Selalu yakin dalam tindakan (Mutayaqqinun fil
amal)
17. Rendah hati (Tawadhu
)
18. Berpikir positif dan membangun (Al-fikru wal-bina
)
19. Senantiasa siap menolong (Mutanaashirun lighoirihi)
20. Bersikap keras terhadap orang-orang kafir (Asysyidda
u alal kuffar)

Penutup

Menjadi pejuang, hendaknya bukanlah angan-angan kita belaka. Menjadi
pejuang, memiliki kriteria (muwashofat) yang harus di penuhi. Jangan sampai
kita terkena hadits ini, "Akan datang suatu masa untuk ummatku ketika tidak
lagi tersisa dari Al Qur
an kecuali mushafnya dan tidak tersisa Islam
kecuali namanya dan mereka tetap saja menyebut diri mereka dengan nama ini
meskipun mereka adalah orang yang terjauh darinya." (Ibnu Babuya, Tsawab
ul-A mal).

Pejuang di jalan-Nya hendaknya bukan dari kacamata kita, tetapi dari
kacamata Allah Subhanahu wa Ta
ala. Alangkah ruginya bila kita menganggap
diri sebagai pejuang, padahal dalam pandangan Allah Subhanahu wa Ta
ala,
kita tak ada apa-apanya. Maka, bersama-sama kita memuhasabahi diri, agar
cinta kita kepada-Nya bukan hanya angan semata,
 agar cinta kita tak bertepuk
sebelah tangan. Karena pembuktian cinta haruslah mengikuti dengan keinginan
yang dicinta. Jika tidak, maka patut dipertanyakan kebenaran cintanya itu.
Cinta sejati, tidak hanya dimulut dan disimpan di dalam dada saja, tetapi
harus dibuktikan, agar sang kekasih percaya bahwa kita mencintainya. Kita
mencintai-Nya dan Dia pun mencintai kita. "Hai orang-orang yang beriman,
barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya maka kelak Allah akan
mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun
mencintai-Nya.." (QS. Al Maidah : 54 - 56).
 


2 komentar:

  1. Oh yaa kangmas Ali, jangan lupa yaa besok hari Senin, tanggal 29 Desember 2010 jadi pembina Upacara di MTsN Bakalan Rayung Jombang....

    BalasHapus